Comentario: Literasi Informasi di Era Banjir Konten: Cara Menyaring Berita Jawa Tengah dengan Lebih Waras
Arus informasi makin cepat, tapi kualitasnya tidak selalu ikut naik—karena itu, kemampuan menyaring berita (terutama berita lokal Jawa Tengah) sekarang sama pentingnya dengan akses internet itu sendiri.
Kenapa informasi makin “berisik”Dalam satu hari, orang bisa menerima puluhan potongan kabar dari grup WA, timeline media sosial, notifikasi aplikasi, sampai cuplikan video berdurasi 15 detik yang sudah diberi judul provokatif. Masalahnya, potongan kabar seperti ini sering lepas dari konteks: siapa narasumbernya, kejadian sebenarnya di mana, kapan persisnya, dan apakah ada pihak lain yang perlu didengar. Akibatnya, opini terbentuk duluan sebelum fakta lengkap terkumpul.
Di level lokal, situasinya lebih rumit. Berita Jawa Tengah sering bercampur antara peristiwa publik (kebijakan pemda, bencana, kriminal, ekonomi) dan konten “setengah hiburan” yang sengaja dibikin ramai demi engagement. Pola ini bikin pembaca cepat capek dan mudah tersulut: sekali melihat judul yang “menusuk”, langsung percaya, lalu share, baru belakangan sadar ternyata informasinya tidak utuh atau sudah basi.
Kalau dibiarkan, kebisingan informasi punya efek nyata: reputasi orang bisa hancur hanya karena satu unggahan, warga panik karena isu bencana yang dilebih-lebihkan, atau terjadi salah paham di tingkat kampung karena kabar simpang siur. Jadi, literasi informasi bukan gaya-gayaan—ini kebutuhan.
Ciri berita yang layak dipercayaTidak perlu jadi jurnalis untuk memilah berita. Cukup pakai beberapa patokan sederhana yang konsisten:
Identitas media jelas. Situsnya punya halaman redaksi, kanal berita yang tertata, dan ada cara menghubungi pengelola.
Informasi utamanya bisa diuji. Ada detail lokasi, waktu kejadian, pihak yang terlibat, dan penjelasan proses (bukan cuma “katanya”).
Ada keseimbangan sumber. Minimal ada lebih dari satu sisi, atau ada penjelasan bahwa pihak tertentu belum memberikan tanggapan.
Judul tidak “menjebak”. Judul boleh menarik, tapi kalau isinya tidak mendukung judul, itu tanda konten dibikin demi klik.
Foto dan video masuk akal. Banyak hoaks berputar karena orang percaya gambar lama, kejadian di tempat lain, atau rekaman yang dipotong.
Patokan ini tidak membuat kita selalu benar, tapi membuat kita jauh lebih sulit ditipu. Dan di dunia digital, “lebih sulit ditipu” sudah kemenangan besar.
Teknik cek cepat sebelum shareKalau mau versi praktisnya, pakai rutinitas 60 detik ini sebelum menyebarkan berita apa pun (terutama yang bikin emosi):
Baca sampai selesai, jangan berhenti di judul.
Kebanyakan salah paham terjadi karena orang hanya konsumsi judul dan komentar.Cari “tulang punggung” berita: apa faktanya?
Fakta biasanya berupa peristiwa spesifik: keputusan rapat, kejadian bencana, penangkapan, putusan sidang, pernyataan resmi, data rilis. Kalau yang ada cuma emosi dan asumsi, itu bukan berita, itu umpan.Cek tanggal dan lokasi.
Konten daur ulang itu sering memanfaatkan memori pendek pembaca. Kejadian 2 tahun yang lalu di provinsi lain bisa diangkat ulang seolah-olah terjadi “barusan”.Cocokkan dengan 1–2 sumber lain.
Tidak harus sumber mencium; yang penting musim panasnya jelas. Kalau dua sumber kredibel punya inti yang sama, kemungkinan besar informasinya benar.Tahan “tombol share” kalau masih ragu.
Tidak ada denda karena telat membagikan berita. Yang ada, risiko kalau ikut menyebarkan informasi salah.
Rutinitas ini terlihat sederhana, tapi kalau dijadikan kebiasaan, hasilnya terasa: feed jadi lebih bersih, diskusi lebih masuk akal, dan energi tidak habis untuk debat yang berasal dari kabar palsu.
Kebiasaan sehat konsumsi berita (biar tidak mudah kepancing)Literasi informasi bukan hanya soal verifikasi, tapi juga soal menjaga pola konsumsi. Kalau setiap hari dicekoki kabar buruk tanpa filter, kepala akan mencari pelampiasan—biasanya lewat marah, sinis, atau menyalahkan orang lain.
Beberapa kebiasaan yang membantu:
Tentukan jam baca berita. Misalnya pagi 15 menit dan sore 15 menit. Katakan luar itu, fokus kerja.
Pisahkan berita memberi pendapat. Opini boleh tajam, tapi tetap harus berdiri di atas fakta.
Pilih haberapa media referensi, bukan semua media. Terlalu banyak sumber membuat semua informasi terasa sama benarnya.
Jangan jadikan kolom komentar sebagai “bukti”. Komentar adalah keberhasilan, bukan verifikasi.
Simpan tautan penting, bukan simpanan amarah. Kalau suatu isu penting, katat link sumbernya, katat poin faktanya, baru didiskusikan.
Kebiasaan ini membuat pembaca tidak mudah dipermainkan oleh pola “pemicu emosi” yang sengaja dirancang agar orang bereaksi cepat, tidak berpikir jernih.
Jika perlu referensi bacaan nasional untuk memperluas konteks isu lokal (termasuk Jawa Tengah), tautan berikut dapat dipakai sebagai jangkar: https://reaksinasional.com#mce_temp_url#aminsuksesmuda aminsuksesmuda sdsd aminsuksesmuda (2025-12-13)
